Seorang pedagang menjaga kios berasnya di Jakarta, di tengah kenaikan harga dan kekurangan bahan pokok di Indonesia, 28 Februari 2024. (ADEK BERRY/AFP) |
CTVINDONESIA - Melambungnya harga beras di tanah air beberapa waktu belakangan ini diprediksi akan tetap bertahan, dan bahkan sulit turun kembali. Mengapa demikian?
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi memproyeksikan harga beras akan sulit kembali ke harga semula atau mengalami penurunan harga.
“Bayangannya adalah harga beras mungkin akan bertahan, tidak akan sampai ke serendah seperti yang diperkirakan semula,” ungkap Bayu di Kementerian BUMN, Senin (18/3).
Jika biaya produksi gabah petani per kilogram pada tahun lalu mencapai Rp4.700 atau cenderung dibulatkan menjadi Rp5.000, maka tahun ini, ujar Bayu, biaya itu kemungkinan sudah naik.
“Faktor yang membentuk harga gabah itu yang paling besar adalah dari ongkos tenaga kerja yang kira-kira hampir 50 persen dari harga pokok produksi gabah. Jadi kalau kita lihat dari semua faktor-faktor itu, sekarang sudah naik. Sehingga perkiraannya biaya produksi petani untuk menghasilkan satu kg gabah sudah berubah dibandingkan dengan satu tahun lalu. Kalau itu terjadi maka, harga gabah diperkirakan tidak akan turun sampai ke Rp5.000 lagi,” jelasnya.
Ia enggan merinci berapa kisaran harga beras nantinya.
“Jadi berapa perhitungannya, saya tidak tahu berapa besar angka resminya. Otoritas yang akan menentukan apakah di Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau di BPS,” tegasnya.
Pengamat pangan di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, sependapat dengan Bayu, bahwa harga beras akan sulit untuk turun dalam beberapa waktu ke depan karena berbagai pertimbangan tadi. Ia menyerukan pihak-pihak terkait, seperti BPS, untuk mengadakan survei dan riset terbaru mengenai besaran biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani saat ini untuk memproduksi gabah per kilogramnya. Data terakhir BPS adalah pada tahun 2017 dan sudah tidak relevan untuk digunakan.
“Sepertinya memang akan ada keseimbangan baru yang menyesuaikan antara kenaikan ongkos produksi dengan harga di hilir. Karena kalau kita cek harga beras yang tinggi itu dicerminkan oleh harga gabah yang tinggi. Harga gabah yang tinggi itu cerminan dari ongkos produksi yang naik itu,” ungkap Khudori.
Khudori meminta semua pihak untuk juga melihat masalah kenaikan harga beras ini dari sisi petani. Pasalnya, dua komponen biaya produksi yakni ongkos tenaga kerja dan sewa lahan, memakan porsi 75 persen dari komponen biaya produksi gabah para petani ini.
“Apakah mungkin pemerintah misalnya mengintervensi dengan mengatur upah buruh tani? Apakah mungkin juga pemerintah mengintervensi dalam bentuk mengatur sewa lahan?” tanyanya.
Dua isu ini tidak terjadi di Vietnam dan Thailand, dua negeri tetangga yang dijuluki sebagai penghasil beras dunia sehingga harga beras mereka cenderung lebih murah dibanding Indonesia.
“Kenapa harga beras di kita mahal dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam? Karena dua komponen tadi. Kalau di Vietnam itu kan lahan negara, sistemnya komunis jadi lahan negara, rakyat diserahkan untuk menggarap. Jadi tidak ada sewa lahan, kalaupun ada sangat murah. Thailand juga sama,” ujarnya seraya menambahkan “tapi kalau dari sisi produktivitas, kita itu mengalahkan Thailand dan Vietnam. Vietnam itu hanya tiga ton per hektare, kita bisa lima ton per hektare.”
“HET ditetapkan oleh pemerintah, ibaratnya dikunci. Sementara input produksi di hulu tidak ada yang dikunci seperti sewa lahan, ongkos tenaga kerja, harga BBM yang semuanya sangat fluktuatif. Tidak adil ketika input produksi itu harganya fluktuatif, bahkan cenderung naik terus. Sementara di hilir (HET) outputnya itu dikunci harganya, gak boleh naik di atas HET,” pungkasnya. [gi/em]
Sumber : Voaindonesia.com
Posting Komentar