74HssqAmpAieSQYdpeY0UHJ3eJx0ro2Bjc2BCzNj
Bookmark

Aktivis Pergerakan Andrianto Kupas Soal BBM Naik

 

Andrianto

CTVINDONESIA, JAKARTA - Studi Demokrasi Rakyat ( SDR ) dan FEB menggelar Diskusi Publik di Universitas Dr. Moestopo (Beragam) Jakarta, Rabu 7 September 2022 dan dipandu oleh Selfiani SE ,M.Ak.


Dalam Diskusi Publik yang membahas subsidi BBM 25 triliun dan BLBU 60 triliun menghadirkan pembicara tokoh aktivid pergerakan Andrianto, Direktur Eksekutif SDR Hari Purwanto, dan Kordinator Forum DKI Bandot Malera.


Andrianto yang pada saat Reformasi tahun 1998 ikut melakukan pergerakan dalam Diskusi Publik mengatakan kenaikan BBM era Jokowi adalah Neo Liberalis.

"Kebijakan naiknya BBM menegaskan arah dan implementasi kebijakan ekonomi yang neo liberalis oleh Jokowi,"katanya.


Andrianto menyebut bercongkolnya Sri Mulyani adalah reoresentasi agen Neo Liberalis.


Menurutnya, Sri Mulyani adalah mantan Direktur IMF Asia Pasifik (2002-2004) dan Direktur World Bank (2010-2016).


"Dalam mazab Neo Liberalis tidak di inginkan adanya subsidi, semua berlandaskan hukum pasar bebas, dimana harga minyak dunia di tentukan di London Stock Escange dengan patokan minyak jenis Brent,"katanya.


Ditambahkan soal minyak dunia, harga ini bisa naik-turun sesuai market demandnya.


"Masalahnya Indonesia miliki azas ekonomi Pancasila terutama pasal 5 keadilan sosial dan UUD 45 pasal 33 dan 34,"jelas Andrianto.


Andrianto mempertanyakan kepada pemerintah apakah istilah Subsidi untuk BBM jenis pertalite sudah sesuai?


"Adalah kurang tepat rasanya bila itu buat menambal APBN, bagaimana dengan PMN atgau Penyertaan Modal Negara kepada BUMN sebesar 38 Triliun,"ungkapnya.


Ia juga menyebutkan suntikan untuk modal kereta cepat Jakarta-Bandung sebesar 5 Triliun.


"Semua kan bila menyangkut APBN ya subsidi, apakah pantas BUMN juga di Subsidi, Ini jelas melanggar sila ke 5 Pancasila,"katanya.


Lantas bagaimana dengan asumsi bila tidak dinaikan akan ada subsidi 500 Triliun?Padahal APBN 2023 berasumsi minyak dunia di level 120 USD per Barell, sementara saat ini minyak dunia sedang turun di 89 Usd/barel karena permintaan yang menurun sebagai dampak awal resesi yg terjadi di beberapa negara.


"Lantas jatah Pertalite dalam APBN 25 juta kilo liter dan baru terpakai 23 juta kilo liter artinya masih ada tersisa,"jelasnya.


Disebutkan juga Smsubsidi minyakpun di APBN sesungguhnya cuman 250an triliun yg terbagi dalam subsidi energi yakni buat PLN,Gas dan BBM.


Lantas apa benar nilai ke ekonomian pertalite itu 17.000 dan 10.000 harga sekarang masih d bilang subsidi?


"Mari kita hitung, saat ini Pertamina masih menghasilkan 700 ribu barel/hari berarti kita Impor 700 ribu barell/hari karna kebutuhan rata rata 1.400.000 barel/hari,"terangnya.


Secara rata rata, jika harga kita mix maka harga campuran harga diskon impor adalah 70 dollar plus harga milik sendiri 30 dollar, jika dbagi dua atau rata rata Artinya 50 dollar per barrel.


Kemudian Andrianto menjelaskan bila ditambahkan 30 persen ongkos refineri dan distribusi Jadi 65 dollar per barrel, 0,4 dollar perliter Ini tergantung dollar di kali kan berapa, Intinya harga keekonomian Pertalite itu mendekati R 5000 bukan mendekati klaim pemerintah Rp.17.000 perliter.


Jelas rezim Jokowi makin neo liberalis, ada dugaan hutang yang bakal jatuh tempo ini sangat besar.


Selama ini sudah sering berjalan hutang baru untuk bayar hutang, istilahnya berhutang untuk tutup Jurang.


Hutang jumbo akibat Project Infrastruktur yang tidak terkendali dan masuk akal seperti Project IKN yang rasanya mustahil terwujud bilamana ekonomi sebuah negara sedang susah.


Andrianto menganalisa nampaknya ada dua pisau analisis dari kenaikan BBM saat ini, yakni batas waktu pembayaran hutang makin membayangi.


Bila tidak mampu atau gagal bayar alias default maka black list terjadi di mata Internasional yg bisa berdampak negatif.


"Maka dicabutlah subsidi sehingga investor senang lantas kita bisa peroleh hutang baru,"tegasnya.


Seperti halnya PCR ada dugaan bisnis terhadap rakyatnya, kinipun terjadi kepada BBM.


Bansos yang nilainya cuman 24 triliun buat 20 juta rakyat rasanya cuman seperti Amphetamin nikmat sesaat tapi melarat sesudahnya.


"Bandingkan pula dengan subsidi bunga rekapitulasi BLBI yang sebesar 60-70 triliun per tahun dalam APBN,"urainya.


Diakhir diskusi Andrianto menyatakan bila rezim benar, kenapa Malaysia bisa pertalite seharga Rp 7100, atau Vivo milik Swis seharga Rp 8900 harga tanpa subsidi, pertalite 10.000 masih d sebut Subsidi.***

0

Posting Komentar