FOTO: RAMA
|
Purwokerto
– Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dalam melakukan penelitian terhadap
masalah stunting di Kabupaten Banyumas tidak hanya dilakukan dalam satu periode
saja, namun sudah dilakukan jauh-jauh hari.
Bahkan
Unsoed memiliki beberapa fakultas yang terkait dengan kondisi pangan lokal
masyarakat Kabupaten Banyumas, dan hal itu merupakan salah satu tantangan tim
riset untuk membantu memberikan kontribusi terhadap penyelesaian masalah
stunting di kabupaten tersebut.
Stunting
sendiri oleh Kementerian Kesehatan RI telah mulai didengungkan sekitar tahun
2013, sehingga dengan berjalannya
waktu persepsi masyarakat terhadap
stunting itu semakin baik.
Karena
masalah stunting merupakan salah satu isu prioritas nasional selain TBC dan HIV
AIDS, maka seluruh anggaran maupun konsentrasi penelitian maupun pembangunan
kesehatan berfokus pada bagaimana upaya untuk mencegah stunting.
Mengingat
stunting tersebut outputnya adalah kepada kualitas generasi penerus bangsa
terutama menghasilkan generasi yang
dalam waktu 10 sampai 20 tahun lagi mungkin jadi pemimpin bangsa ini.
Peneliti
sekaligus Ketua jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES)
Unsoed, Dr. Arih Diyaning Intiasari, S.K.M. MPH menjelaskan, hasil
penelitiannya terkait pesoalan itu lebih kepada faktor-faktor apa yang
mempengaruhi stunting di Kabupaten Banyumas.
“Tentu
saja faktor-faktor ini akan berbeda ketika riset di daerah lain,” kata Dr. Arih
Diyaning Intiasari kepada CTV.co.id di sela-sela Rakor lintas sektor program
pengendalian stunting di Kabupaten Banyumas, di Hotel Aston, Purwokerto, Selasa
(28/1/2020).
Terkait
hasil penelitiannya di Kabupaten Banyumas, Dr. Arih Diyaning Intiasari, menyebutkan,
ada beberapa faktor yang dominan mempengaruhi stunting yaitu pola asuh terhadap
anak, masalah sanitasi lingkungan, dan masalah perilaku kebersihan masyarakat.
“Ya
itu faktor dominan karena memang sebenarnya ada faktor-faktor lain seperti
faktor ekonomi dan lain-lain tapi itu tidak terlalu signifikan sebetulnya,”
jelas Dr. Arih Diyaning Intiasari.
Dengan
hasil temuan itu, kata Dr. Arih Diyaning Intiasari, pihaknya menggerakkannya ke
ranah “Policy Brief” dengan menyusun ringkasan yang dapat memberikan suatu
solusi yang berbasis muatan lokal.
“Salah
satunya adalah brief mengenai rubung jeding, jadi banyak sekali istilah-istilah
lokal yang dipakai, hanya saja rubung jeding ini kita lebih kepada bagaimana
kita melihat stunting sebagai suatu masalah. Kemudian bagaimana sih seluruh
sektor yang ada di Banyumas, stakeholder apa saja yang ada di Banyumas kita memberikan
kontribusi yang gerak langkahnya sinergi untuk menyelesaikan stunting,” kata
Dr. Arih Diyaning Intiasari.
Dari
10 lokus desa di tahun 2019, lanjut Dr. Arih Diyaning Intiasari, rata-rata
temuan stuntingnya sampai lebih dari 30 persen.
“Itu
kemarin ada gunung lurah kecamatan Cilongok, dan desa Srowot, kecamatan
Kalibagor. Itu dua diantara 10 desa yang kami sempat turun ke lapangan dan
menemukan besaran stunting. Srowot itu 37 persen,” tutur Dr. Arih Diyaning
Intiasari.
Dari
daerah yang paling tinggi stunting ini, tambah Dr. Arih Diyaning Intiasari, ada
beberapa faktor spesifik yang berbeda misalnya seperti daerah-daerah dengan
kantong pekerja imigran. (Rama)
: