Semarang - Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah (Jateng) ditetapkan naik 8,7 persen pada tahun 2018 menjadi Rp 1.486.065 dari tahun ini Rp 1.367.000
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, formula kenaikan UMP dihitung berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 yakni dengan menambahkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi terakhir. "Inflasi terakhir 3,99 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,72 persen," kata Ganjar di Semarang, Rabu (1/11).
Namun Ganjar menjelaskan, nominal UMP tidak bisa dibandingkan dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) di 35 daerah di Jateng.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jateng, Wika Bintang menambahkan, dibandingkan dengan DI Yogjakarta dengan UMP Rp 1.454.154, UMP di Jateng lebih tinggi. Namun masih di bawah Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing Rp 1.544.360, dan Rp 1.508.800.
Mengenai UMK, pihaknya berencana menetapkan pada 21 November 2017. Saat ini, tengah menunggu usulan kenaikan dari masing-masing daerah di Jateng. "Sebenarnya batas waktu usulan 27 Oktober 2017. Tapi sampai sekarang, baru 8 daerah yang mengajukan," jelasnya.
Adaun delapan daerah tersebut adalah Kabupaten Semarang, Jepara, Rembang, Wonogiri, Boyolali, Wonosobo, Cilacap, dan Kota Tegal. "Yang lain, akan kami tunggu paling lambat awal November ini," katanya.
Wika mengatakan, jika 35 kabupaten/kota sudah menyerahkan usulan, akan dibawa ke Dewan Pengupahan untuk dievaluasi. Perhitungan kenaikan UMK sebenarnya sudah bisa dihitung lewat PP 78. Hanya saja, pihaknya tetap menerima usulan dari daerah. Hal itu dilakukan untuk menampung aspirasi para pekerja. "Jadi, nanti kami bisa tahu, ada masalah apa kok rumus PP 78 tidak bisa diterima di daerah. Apalagi, PP 78 itu kan berlaku 5 tahun. Ini sudah masuk tahun ketiga. Wajar kalau perlu dievaluasi," kaat Wika.
Dia mengakui, di Jateng masih ada dua daerah yang belum melaksanakan 100 persen perhitungan angka UMK sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) yakni Kabupaten Magelang dan Batang.
Sekretaris DPW Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng, Heru Budi Utoyo menilai, kenaikan UMP 8,7 persen sudah sesuai formula perhitungan yang tertuang dalam PP 78 Tahun 2015. Begitu juga dengan hitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang dijelaskan lewat Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker).
Meski begitu pihaknya menilai, kenaikan itu tidak relevan dilaksanakan. Bahkan tidak tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. "Dalam UU itu, upah dilaksanakan untuk pencapaian kebutuhan hidup layak yang mampu menyejahterakan pekerja atau buruh," ujar Heru.
Sumber: Suara Pembaruan dan beritasatu
Posting Komentar