Banyumas.in - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 128/PUU-XIII/2016 mengabulkan gugatan Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) terkait dengan pengujian Pasal 33 Ayat 1 huruf g. dan Pasal 50 Ayat 1 huruf c. Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014. Putusan tersebut, untuk masyarakat Wangon dianggap berpotensi menimbulkan ketidak teraturan administrasi pemerintahan, serta mempertajam konflik horizontal.
Seperti diketahui, dalam Pasal 33 huruf g. tertulis, bahwa calon kepala desa wajib memenuhi persyaratan terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran. Berikutnya pasal 50 (1) menyebutkan, Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c tidak memberikan kesempatan yang adil kepada warga negara yang ingin menjadi calon kepala desa dan atau perangkat desa.
Argumentasi yang diajukan, banyak penduduk yang bermigrasi, atau merantau ke daerah lain dengan tujuan mengembangkan diri. Kedua pasal itu dinilai Pemohon sebagai menghambat hak politik perantau yang ingin membaktikan diri menjadi calon kepala desa dan atau perangkat desa.
Dengan alasan tersebut para Pemohon meminta supaya MK menyatakan bahwa Pasal 33 huruf g. dan Pasal 50 huruf huruf c. UU Desa No. 6 Tahun 2014, bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon secara spesifik menunjuk Pasal 28 D Ayat 3, bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Rudianto, Kepala desa Klapagading di Wangon Banyumas menilai putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Pertama, ketidak teraturan di dalam administrasi kependudukan dan kedua potensi gesekan sosial yang tajam. Sehingga Penjaringan sebagai perangkat desa yang telah di lakukan pun terpaksa di batalkan kembali sambil menunggu putusan MK di berlakukan dengan terlebih dahulu melakukan sosialisasi Putusan tersebut."Jadi penjaringan dan pelantikan yang telah di lakukan beberapa waktu yang lalu di desa Klapgading pun terpaksa di batalkan lagi." Ungkapnya saat di kantor.
“Putusan yang menghapus persyaratan setahun domisili, bisa ditafsirkan memberi kesempatan perantau, tetapi juga memberi peluang kepada warga tetangga desa, yang kebetulan mempunyai saudara di desa yang ada hajat pemilihan kades atau pengisian perangkat desa,” kata Sarmidi, Kamis 8/9/2016.
Rudianto mencontohkan, A warga Klapagading, Kecamatan Wangon bisa saja mendaftarkan diri sebagai calon kades Di Desa Wangon, Kecamatan Wangon dengan kesadaran yang bersangkutan punya kerabat separoh lebih penduduk setempat.
Tiga bulan sebelum pemilihan berlangsung si A pindah penduduk dari Klapagading ke Wangon. Dalam kompetisi, A kemudian kalah karena pendatang. Tidak lama kemudian si A mencabut berkas kependudukan di Wangon dan kembali menjadi penduduk Klapagaading.
“Ini syah secara hukum, tetapi menyebabkan administrasi kependudukan coreng moreng nggak karuan,” kata Rudianto yang belum lama ini pulang dari Ibadah Haji.
Problem kedua, belum tentu A yang lama menjadi warga Klapagading memahami dinamika, dialektika serta romantika warga Wangon, yang ujung-ujungnya menyulut perbedaan, bahkan gesekan di antara calon pemilih.
“Saya hanya menggambarkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan putusan MK yang baru saja disyahkan,” pungkas Rudianto.
Sementara pihak Kecamatan Wangon yang coba di mintai pendapatnya mengungkapkan bahwa "pihaknya tinggal melaksanakan saja peraturan yang ada."Kata Sekcam Suharto (*)