Wangon-Sejarah mencatat bahwa fenomena gerhana kerap dikaitkan dengan musibah yang menyusulnya. Masih perlukah kita untuk waspada? Langit pagi di 12 provinsi di Indonesia akan gelap untuk sesaat pada Rabu, 9 Maret 2016. Gerhana Matahari Total (GMT) tahun ini akan terasa istimewa bagi publik Indonesia. Bukan hanya menarik minat pecinta fenomena alam, namun juga ribuan peneliti dari seluruh dunia.
Gerhana terjadi ketika sebuah benda angkasa menjadi gelap akibat bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain, biasanya merujuk pada gerhana bulan atau gerhana matahari. Sains modern membuktikan bahwa gerhana dapat dijelaskan secara ilmiah, namun sejarah mencatat, fenomena alam yang hanya berlangsung beberapa menit ini banyak meninggalkan kesan mendalam bagi peradaban manusia di masa silam.
Orang-orang zaman dahulu menganggap pengamatan benda-benda angkasa merupakan aktivitas spiritual; instrumen dewa, simbol keteraturan alam. Maka, ketika anomali terjadi, interpretasi akan petaka muncul hampir di semua peradaban.
Di Babilonia kuno, ada tradisi mengangkat seorang raja baru untuk sementara selama gerhana untuk melindungi raja yang asli. Di Cina kuno, kaisar wajib menyiagakan tentara dan menabuh drum sekeras-kerasnya. Menurut legenda, dua orang astronomer kekaisaran, Hi dan Ho, bahkan dihukum mati oleh kaisar yang kesal akibat lalai memprediksi gerhana matahari pada 2134 SM.
Teror gerhana memang menakutkan bagi penguasa. Suiko, permaisuri agung Jepang, wafat di bawah temaram gerhana pada 15 April 628. Begitu pula Louis dari Bavaria (Prancis, 20 Juni 840), Henry I (Inggris, 2 Agustus 1133), juga Panembahan Senopati (Jawa, 1601). Demonstrasi kekuatan alam yang absolut terbukti ampuh menohok mental dan keangkuhan raja-raja manusia di dunia.
Entah berkaitan atau tidak, respon mencegah kepanikan ala pemerintah Orde Baru terhadap gerhana matahari 11 Juni 1983, yang lebih tepat dikatakan sebagai solusi berujung pembodohan massal, bisa disebut sebagai manifestasi ketakutan itu.
Tak berbeda dengan tahun ini, kala itu Indonesia menjadi primadona pemburu gerhana seluruh dunia. Pasukan Petrus —penembak misterius— bahkan disiagakan pemerintah Orde Baru untuk mengamankan kegiatan tamu-tamu asing, turis, dan ilmuwan, menjelang gerhana matahari 11 Juni 1983 yang akan lewat di Pulau Jawa.
Namun, seperti ditulis oleh antropolog Amerika Serikat, John Pemberton dalam On the Subject of Java, pemerintah sebaliknya justru memproduksi histeria di kalangan masyarakat. “Gerhana itu menjadi fokus ketakutan yang baru. Supaya orang-orang Indonesia tidak ‘dibutakan oleh gerhana’, pejabat menegaskan, mereka harus tinggal di rumah selama fenomena itu berlangsung,” tulisnya.
Imbauan serupa juga diserukan oleh Harmoko dari Kementerian Penerangan secara langsung, melalui koran, selebaran, stasiun televisi TVRI, dan lain-lain. Pejabat pemerintah, seperti Bupati Sukoharjo, Gatot Amrih, bahkan mengaitkan mitos raksasa pelahap matahari untuk menakut-nakuti rakyatnya. Kisah entitas pelahap sebagai pemicu gerhana ini juga berkembang di tempat lain, seperti naga (Cina), katak (Vietnam), serigala (Skandinavia), beruang (Indian Amerika), dan lain-lain.
Tapi, tampaknya sosok raksasa sudah cukup untuk membuat rakyat Jawa patuh. Pasca gerhana, rakyat Jawa selamat, dan pamor pemerintah Orde Baru pun naik di antara rakyat Jawa yang masih percaya mitos dan klenik.
Hal itu sedikit ironis mengingat di saat tamu-tamu asing diundang, disambut, dan diperlakukan sedemikian rupa untuk menikmati gerhana dengan nyaman, pemerintah malah menginstruksikan rakyatnya untuk ngumpet di rumah. Gerhana dikendalikan sebagai sumber ketakutan, persis seperti ketika Columbus memanfaatkan gerhana matahari pada 1503 untuk membodohi dan menundukkan penduduk asli Jamaika yang masih lugu, sebuah plot yang kemudian dipakai dalam satu volume serial komik Tintin, TheAdventures of Tintin: Prisoners of the Sun, karya Herge pada 1946-1948.
Pemerintah pun kualat, seakan ingin mendemonstrasikan kekuatannya kembali, sebuah gerhana matahari 26 Februari 1998 mendahului keruntuhan Orde Baru beberapa bulan setelahnya. Gerhana berujung bencana bagi penguasa, lagi.
Abad 21, abad ilmu pengetahuan dan komunikasi. Percik ilmu pengetahuan mengubah sudut pandang umat manusia terhadap gerhana, alih-alih teror, rasa takjub menjadi utama. Memburu gerhana di Indonesia menjadi tren bagi publik yang telah tercerahkan dan kaum akademia, yang dapat ditarik sejak fenomena gerhana 9 Mei 1929 di Aceh dan arus pemberitaan fenomenalnya karena berhasil membuktikan teori relativitas Albert Einstein.
Jadi, apakah menyikapi gerhana sebagai pertanda mara bahaya masih relevan bagi manusia abad 21 ini, khususnya di Indonesia? Alangkah baiknya jika momen gerhana bisa kembali melerai pertengkaran dan kisruh negeri ini secara instan, seperti gerhana matahari 28 Mei 585 SM silam yang menyulut perdamaian antara Kerajaan Lydia dan Medes di Asia Minor.
Atau mungkin ia malah akan memperkeruh konflik; seperti gerhana matahari 21 Agustus 1914 di Eropa yang seakan menyiratkan bahwa Perang Dunia I akan berlanjut lama dan lebih mematikan?
Yang mana pun, rasanya bersuka cita dan menikmati keajaiban alam gerhana tahun ini adalah hal yang manusiawi. Tidak salah untuk melatih kesadaran kosmik melalui sains, sama dengan tidak ada salahnya untuk waspada dan peka terhadap aspek spiritual gerhana.
Apakah gerhana tahun ini akan disusul oleh mara bahaya, gejolak akbar, bagi Indonesia? Untuk menjawab hal itu, setidaknya sejarah peran gerhana dalam peradaban manusia telah memberi peringatan yang lebih dari cukup. Mari memandang langit dan terkesima. —Rappler.com
Rahadian Rundjan adalah sejarawan lepas yang tengah menggeluti tema sejarah sains dan teknologi. Kini berdomisili di Bogor dan bisa disapa di @rahadianrundjan.