Banyumas-Polemik mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Questioning (LGBITQ) ditanggapi beragam di keluarga besar Nahdlatul Ulama.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj mengatakan fenomena LGBT di Indonesia sudah sangat berbahaya.
"Sudah banyak orang di pinggir-pinggir jalan, saya kira cantik-cantik siapa, tahu-tahu laki-laki," katanya setelah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat, 5 Februari kemarin, seperti dikutip dari media.
Said menilai fenomena LGBT bukan hanya bertabrakan dengan ajaran agama, tapi juga bertolak belakang dengan fitrah manusia.
PBNU, kata dia, mendukung sikap Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang melarang kampus memberi kebebasan kepada kaum LGBT.
Menurut dia, dalam agama, pilihannya menjadi kaum LGBT akan ditoleransi jika sudah sejak lahir menjadi LGBT. "Tapi kalau dibikin-bikin mendadak, kemudian kemayu, dan awalnya tidak, itu yang kami permasalahkan. Saya yakin yang betul sejak lahir itu sedikit," katanya.
Sementara itu, Aan Anshori, Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU wilayah Jombang, yang juga anggota Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur mengatakan bahwa sebagai bagian dari NU, secara kultural dan struktural ia bisa memahami kegelisahan banyak pihak.
“Wacana mainstream meletakkan kelompok ini dalam kesewenangan historik sejarah Nabi Luth,” katanya pada Rappler, Sabtu, 6 Februari. Tapi, ia berpendapat, sebesar apapun ketidaksukaan seseorang pada suatu kelompok hendaknya tidak menghalanginya berbuat adil.
“Pertama, saya mengajak semua pihak untuk dengan rendah hati berefleksi sejauh mana kita telah ber-tabayyun (mempelajari dan memahami) dengan LGBTIQ?” katanya.
Ia mencontohkan, misalnya apakah pihak tertentu cukup menguasai konsep tentang orientasi seksual, identitas gender, dan ketubuhan, sebab memahami konsep ini adalah hal fundamental. “Jika belum, saya kuatir kita akan jadi bahan tertawaan publik,” katanya.
Kedua, katanya yang paling penting, apapun perbedaan pandangan menyangkut hal ini, tidak seharusnya menjadikan kita merasa punya hak untuk mencabut hak-hak dasar seseorang.
“Boleh boleh saja kita berpendapat LGBTIQ tidak sesuai fitrah. Namun NU yg saya tahu sangat teguh memegang konstitusi. Di sana, kita tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar apapun, apalagi memaksa negara melakukan hal itu,” katanya.
Karena dua hal ini yang merupakan warisan salah satu tokoh NU senior yang pernah menjabat sebagai Presiden RI, Abdurahman “Gus Dur” Wahid.
Sepakat untuk menghindari ekspresi kebencian
Sementara itu, Said Aqil menyadari munculnya gerakan kebencian terhadap fenomena LGBT di masyarakat. Ia mengimbau masyarakat tetap menunjukkan sikap yang lebih santun meski tidak setuju dengan munculnya kaum LGBT.
"Yang namanya benci, ya, tidak boleh. Kita harus melakukan sesuatu dengan ramah santun, tidak menimbulkan kebencian," ucapnya.
Soal ini, Ansori sepakat dengan Said Aqil. “Poinnya jangan membenci sebelum memahami, apalagi lebay menuntut negara melakukan diskriminasi,” katanya. —dengan laporan dari Febriana Firdaus/Rappler
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj mengatakan fenomena LGBT di Indonesia sudah sangat berbahaya.
"Sudah banyak orang di pinggir-pinggir jalan, saya kira cantik-cantik siapa, tahu-tahu laki-laki," katanya setelah menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat, 5 Februari kemarin, seperti dikutip dari media.
Said menilai fenomena LGBT bukan hanya bertabrakan dengan ajaran agama, tapi juga bertolak belakang dengan fitrah manusia.
PBNU, kata dia, mendukung sikap Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang melarang kampus memberi kebebasan kepada kaum LGBT.
Menurut dia, dalam agama, pilihannya menjadi kaum LGBT akan ditoleransi jika sudah sejak lahir menjadi LGBT. "Tapi kalau dibikin-bikin mendadak, kemudian kemayu, dan awalnya tidak, itu yang kami permasalahkan. Saya yakin yang betul sejak lahir itu sedikit," katanya.
Sementara itu, Aan Anshori, Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU wilayah Jombang, yang juga anggota Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur mengatakan bahwa sebagai bagian dari NU, secara kultural dan struktural ia bisa memahami kegelisahan banyak pihak.
“Wacana mainstream meletakkan kelompok ini dalam kesewenangan historik sejarah Nabi Luth,” katanya pada Rappler, Sabtu, 6 Februari. Tapi, ia berpendapat, sebesar apapun ketidaksukaan seseorang pada suatu kelompok hendaknya tidak menghalanginya berbuat adil.
“Pertama, saya mengajak semua pihak untuk dengan rendah hati berefleksi sejauh mana kita telah ber-tabayyun (mempelajari dan memahami) dengan LGBTIQ?” katanya.
Ia mencontohkan, misalnya apakah pihak tertentu cukup menguasai konsep tentang orientasi seksual, identitas gender, dan ketubuhan, sebab memahami konsep ini adalah hal fundamental. “Jika belum, saya kuatir kita akan jadi bahan tertawaan publik,” katanya.
Kedua, katanya yang paling penting, apapun perbedaan pandangan menyangkut hal ini, tidak seharusnya menjadikan kita merasa punya hak untuk mencabut hak-hak dasar seseorang.
“Boleh boleh saja kita berpendapat LGBTIQ tidak sesuai fitrah. Namun NU yg saya tahu sangat teguh memegang konstitusi. Di sana, kita tidak diperkenankan melakukan diskriminasi atas dasar apapun, apalagi memaksa negara melakukan hal itu,” katanya.
Karena dua hal ini yang merupakan warisan salah satu tokoh NU senior yang pernah menjabat sebagai Presiden RI, Abdurahman “Gus Dur” Wahid.
Sepakat untuk menghindari ekspresi kebencian
Sementara itu, Said Aqil menyadari munculnya gerakan kebencian terhadap fenomena LGBT di masyarakat. Ia mengimbau masyarakat tetap menunjukkan sikap yang lebih santun meski tidak setuju dengan munculnya kaum LGBT.
"Yang namanya benci, ya, tidak boleh. Kita harus melakukan sesuatu dengan ramah santun, tidak menimbulkan kebencian," ucapnya.
Soal ini, Ansori sepakat dengan Said Aqil. “Poinnya jangan membenci sebelum memahami, apalagi lebay menuntut negara melakukan diskriminasi,” katanya. —dengan laporan dari Febriana Firdaus/Rappler