Banyumas-Melihat kontroversi proyek pembangunan Kereta Api Cepat (high speed railway)
Jakarta-Bandung yang tidak ada habisnya, saya selalu membayangkan wajah
dua perempuan: Ibu Megawati Sukarnoputri dan Ibu Rini Mariani Soemarno.
Ketika Megawati menjabat presiden, Rini menjabat Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan. Selama 10 tahun, Bu Mega dan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam posisi oposisi, Rini
adalah sahabat karib Bu Mega. Hampir di semua kegiatan, politik maupun
pribadi, mereka tampil berdua. Seiring, sejalan.
Rini bahu-membahu dengan PDI-P dan Bu Mega selama kampanye
pilpres 2014. Posisi sentral Rini sebagai ketua Tim Transisi Jokowi-JK
pun tidak lepas dari “restu” Megawati. Keduanya “retak” ketika Presiden
Joko “Jokowi” Widodo menyusun kabinetnya.
Kabar yang beredar di kalangan politik, Rini dianggap
memengaruhi Jokowi dalam penyusunan kabinet. PDI-P, sebagai partai
pengusung utama, mendapat 4 kursi. Sebenarnya jika Rini masuk dalam
“jatah” PDIP, jadinya malah 5. Saya yakin Rini tak keberatan dimasukkan
sebagai proksi PDI-P di kabinet. Tapi ketika kabinet diumumkan, Mega dan
Rini sudah tak bertegur sapa.
Desakkan mengganti Rini
Dampaknya nyata. Sejak hari pertama Kabinet Bekerja,
setiap kali keputusan Rini sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), selalu memancing kritik pedas dari kader PDI-P.
Kita ambil dua kasus yang menjadi perhatian publik, yaitu
kasus dugaan korupsi di BUMN Pelindo II. Panitia Khusus yang dibentuk
untuk memeriksa kasus ini diketuai oleh Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR
RI dari PDI-P. Dalam kesimpulan hasil kerjanya, pansus merekomendasikan
agar Jokowi memberhentikan Menteri Rini dan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino.
Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi pada bulan
Desember 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap rekomendasi pansus
melampaui kewenangan DPR.
“Pansus itu kan tugasnya memeriksa, apakah ada
undang-undang yang dilanggar oleh pihak pemerintah,” kata Wakil Presiden
Jusuf Kalla, pada 22 Desember 2015. JK memastikan bahwa pemerintahan Jokowi berkomitmen penuh memberantasan korupsi.
Masinton Pasaribu, anggota DPR RI dari PDI-P, juga menjadi bagian dari pansus Pelindo. Setiap kali berembus isu kocok-ulang (reshuffle) kabinet, dia selalu menyarankan agar Rini diganti. Elit PDI-P lainnya, Effendy Simbolon juga kerap mengkritik Rini.
Keduanya menganggap kebijakan Rini mengelola BUMN sudah
melenceng dari konstitusi dan Nawa Cita, janji Jokowi saat kampanye
pilpres. Jokowi nampaknya tidak sepakat, buktinya dia mempertahankan
Rini, sampai hari ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan RJ
Lino sebagai tersangka. Pada 23 Desember 2015, Lino pamitan dari Pelindo
II, karena diberhentikan oleh pemegang saham. Untuk kasus di Bareskrim
Polri, statusnya masih saksi.
Pada, 26 Januari 2016, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan Lino terhadap penetapan tersangka oleh KPK. Pada 30 Januari 2016, Masinton diadukan staf ahlinya, Dita Aditya, ke polisi dengan tuduhan penganiayaan.
Dihujani kritik, oleh Bu Mega dan kolega
Namanya politik, selalu ada yang siap memanfaatkan celah
konflik yang ada. Rini dianggap tak punya dukungan politik. Posisinya
bertahan di kabinet karena masih diperlukan Jokowi. Wilayah kementerian
BUMN yang menjadi kewenangan Rini, hampir selalu ketemu ganjalan di
parlemen.
“Memang, aneh melihat PDI-P justru selalu mengambil sikap
oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Pansus Pelindo salah satunya.
Masa yang berinisiatif justru PDI-P?” ujar petinggi Partai NasDem,
menanggapi pertanyaan saya.
NasDem adalah parpol kedua setelah PDI-P yang mengusung pencalonan Jokowi-JK.
Beberapa pihak memanfaatkan retaknya hubungan Megawati dan Rini. Tidak hanya politisi PDI-P, tapi juga anggota kabinet.
Publik mencermati bagaimana Menteri Koordinator Bidang
Maritim Rizal Ramli melemparkan kecaman kepada Rini, baik soal Pelindo
II maupun proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.
Memang, Rizal Ramli bukan cuma membidik Rini dan RJ Lino.
Rizal juga mengkritisi Wapres JK dan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sudirman Said. Gonjang-ganjing antar menteri menjadi
bagian dari kegaduhan yang bersumber dari pemerintah sepanjang 2015.
RJ Lino mental. Rini masih bertahan. Bidikan ke arah Rini
bahkan datang secara langsung dari Megawati.
Dalam pidato di pembukaan
Rapat Kerja Nasional PDI-P, secara khusus Megawati mengkritisi pengelolaan BUMN yang kini diperlakukan bagaikan korporasi yang mencari untung.
Pidato Mega ini langsung disambut oleh anggota Rakernas.
“Ganti,” kata mereka. Celetukan itu mengarah kepada Rini yang menjabat
Menteri BUMN. Ketika menjabat presiden, Megawati juga menjalankan privatisasi BUMN dengan alasan menambah kocek negara.
Politisi PDI-P Effendy Simbolon tak mau kalah galak dengan bosnya.
“Kita hanya mau mengingatkan saja kepada triumvirat,
Jokowi, Jusuf Kalla, dan Rini Soemarno untuk menghentikan proyek
pembangunan kereta cepat asal China ini karena sekarang dan nanti pasti
akan menimbulkan masalah,” kata Effendi, pada 23 Januari 2016, sebagaimana dikutip media.
Harus diakui bahwa kritikan terhadap KA Cepat tidak hanya
datang dari PDI-P. Sejumlah tokoh, termasuk ekonom Emil Salim
menganggap proyek ini terlalu dipaksakan. Rini dianggap mendesak Jokowi
agar proyek ini dijalankan.
Menurut catatan saya, proyek ini murni gagasan Jokowi termasuk keputusan memilih Tiongkok sebagai mitra.
Proyek KA Cepat adalah pertaruhan realiasi mimpi Jokowi memulai fase baru dalam transportasi publik di Indonesia. Tapi yang diserang, selalu Rini.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sejak awal menolak
proyek ini. Alasannya, APBN seharusnya digunakan untuk membangun KA luar
Jawa.
Jonan tidak hadir dalam acara groundbreaking di
Walini, Jawa Barat. Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan izin trase
untuk proyek ini, tetapi belum menerbitkan izin pembangunan. Menurut
stafnya, Jonan tidak hadir di acara groundbreaking karena sibuk bekerja, termasuk menuntaskan soal izin pembangunan.
Lima hari sesudah groundbreaking itu, dalam rapat
kerja di DPR, Jonan mengatakan pihaknya tak bisa menerbitkan izin
pembangunan karena PT Kereta Api Cepat Indonesia-China (KCIC) belum
memenuhi persyaratan yang ada.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian
Perhubungan Hermanto Dwiatmoko dalam diskusi di Jakarta, pada 25 Januari
mengatakan, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 66 Tahun 2013
tentang Perizinan Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum
menyatakan terdapat sebelas dokumen yang harus dipenuhi PT KCIC.
Sebelas dokumen itu adalah surat permohonan, rancang
bangun, gambar teknis, data lapangan, jadwal pelaksanaan, spesifikasi
teknis, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), metode pelaksanaan,
izin lain sesuai dengan ketentuan perundangan, ada izin pembangunan,
dan 10 persen lahan sudah dibebaskan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar
yang hadir dalam acara di Walini menyatakan tidak ada masalah dengan
dokumen AMDAL. Ketika saya kontak, Siti mengatakan proses AMDAL
dijalankan sesuai prosedur, memakan waktu 41 hari dari proses normal 52 hari.
“Yang saya minta dipercepat itu proses rapat-rapatnya.
Kalau bisa rapat setiap hari, kalau perlu sampai malam, mengapa menunggu
dua atau tiga hari? Sosialisasi ke daerah juga sudah dilakukan,” kata
Siti.
Menurut Siti, kementeriannya menjalankan apa yang
diperintahkan Presiden yang menghendaki proses perizinan dipercepat,
termasuk untuk mendukung investasi. “Tidak hanya di kementerian kami.
Presiden memerintahkan itu berlaku di semua instansi,” kata Siti.
Jaminan politik konsesi 50 tahun
Yang muncul dan ramai di publik dalam dua hari terakhir adalah bahwa PT KCIC menghendaki jaminan politik untuk kelanjutan konsesi selama 50 tahun. Sebagian, bahkan ada pejabat yang mengatakan ini bertentangan dengan pernyataan Presiden, bahwa proyek ini murni swasta dan tidak melibatkan dana APBN.
Kok sekarang minta jaminan? Kalau bangkrut di tengah jalan bagaimana? Apakah pemerintah harus menanggung biayanya?
Dalam diskusi dengan alumni Institut Teknologi Surabaya,
di Jakarta, pada 30 Januari 2016, Rini kembali menegaskan bahwa KCIC
hanya meminta garansi kelangsungan proyek selama 50 tahun.
“Yang berhubungan dengan keuangan, tidak ada jaminan pemerintah sepeser pun,” kata Rini.
Harus diakui bahwa risiko proyek ini tinggi, melibatkan
duit yang besar. Bagian terbesar risiko finansial justru ada di pihak
Tiongkok yang menggelontorkan sedikitnya 75 persen dari investasi
senilai Rp 78 triliun itu.
Dari sisi kepemilikan, konsorsium empat BUMN Indonesia di KCIC menguasai 60 persen, sisanya 40 persen untuk BUMN Tiongkok.
“Risiko finansial ada pada kami, tapi kami juga
mendapatkan pasar teknologi. Dari sisi Indonesia, ini membuka peluang
pengembangan koridor ekonomi baru, pemanfaatan area Walini, serta
mendukung pariwisata,” kata Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xie
Feng.
Saya tidak melihat bahwa aspek potensi bagi Indonesia ini
banyak dibahas oleh para pengamat yang mengkritisi pembangunan proyek KA
Cepat ini. Bahkan di kalangan Kabinet Kerja pun pemahaman mengenai
manfaat proyek ini belum solid.
Entah karena Jokowi kurang piawai menjelaskan, atau memang
ada sementara pejabat di tingkat menteri maupun eselon di bawahnya yang
melakukan pembangkangan kepada presiden dengan bungkus melindungi
kepentingan rakyat.
Bahkan setelah Jokowi mencangkul tanah pertama, beredar
informasi bahwa Kepala Staf Angkatan Udara menolak memberikan izin
penggunakan lahan di area Lapangan Udara Halim untuk proyek KA Cepat.
Beberapa penerbitan siber memuat “surat” yang disebutkan
berasal dari KSAU, ditujukan ke Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Ketika saya tanyakan ke Sekretaris Kabinet Pramono Wibowo, dia membantah
adanya penolakan KSAU. “Enggak benar,” kata Pramono Anung.
Cobaan masih berlanjut dengan beredarnya informasi bahwa
Tiongkok membangun KA Cepat di Iran dengan ongkos yang jauh lebih murah
ketimbang investasi di Indonesia. Harga proyek kereta cepat di Iran 2,7
miliar dolar AS untuk jarak 400 kilometer, sedangkan di Indonesia nilai
proyeknya mencapai 5,5 miliar dolar AS dan memiliki jarak 142 kilometer.
Pihak Tiongkok membantah mengenakan harga lebih mahal di Indonesia. Menurut
keterangan tertulis dari Kedubes Tiongkok di Teheran, Tiongkok tidak
membangun semua bagian dari proyek KA Cepat di sana. Makanya harga
berbeda.
Proyek mercusuar selalu dikecam, awalnya
Saya menduga, hiruk-pikuk kontroversi pembangunan KA Cepat
akan berlanjut. Setelah ini entah isu apa lagi. Hari berganti, dan
berbagai hambatan yang justru datang dari dalam birokrasi pemerintahan
Jokowi, akan melambatkan realisasi proyek yang dijadwalkan beroperasi
komersial pada awal 2019.
Tahun pemilu presiden. Jokowi benar-benar membutuhkan agar
proyek ini terlaksana untuk membuktikan bahwa dirinya membawa Indonesia
ke lompatan teknologi transportasi publik.
Presiden Xi Jinping dalam posisi yang sama, karena
Tiongkok ingin menjadikan KA Cepat Jakarta-Bandung sebagai pintu masuk
bisnis KA Cepatnya di kawasan ini.
Karena alasan politik-ekonomi itu saya termasuk yang
optimistis terhadap proyek ini. Jaminan konsesi? Ingat ucapan Megawati
saat pidato Rakernas PDI-P? Dia menyinggung soal “ganti pemerintahan,
ganti visi”.
Lahirlah ide menyusun Garis Besar Haluan Negara untuk visi
pembangunan jangka panjang. Jadi, apa yang salah dengan jaminan garansi
program selama 50 tahun? Bukankah ini menjamin bahwa setelah kekuasaan
Jokowi berakhir, KA Cepat bakal tetap berlanjut? Jokowi paling lama
berkuasa dua periode, 10 tahun.
Yang harus dijaga adalah soal dampak sosial sepanjang
pembangunan. Memastikan bahwa pembebasan lahan dilakukan secara
manusiawi. Memastikan kondisi lingkungan dan hutan tidak menurun
kualitasnya. Memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam
pembangunan. Menjaga agar proyek ini dibangun dengan kualitas tinggi,
mengutamakan keselamatan publik.
Saya pikir, kita perlu mengawal impian Jokowi
merealiasasikan KA Cepat Jakarta-Bandung dalam koridor ini. Berdebat
soal teknis, hitungan angka untung-rugi, sampai implementasi keputusan
presiden sebagaimana yang dibahas ahli hukum Yusril Ihza Mahendra
penting. Dan sudah ada yang melakukan.
Lagipula di dunia ini cuma ada tiga jalur KA Cepat yang
untung: Tokyo-Osaka, Paris-Lyon, dan Shanghai-Beijing. Lainnya disubsidi
pemerintah, sebagaimana transportasi publik di manapun.
Jika pada 1958, Presiden Sukarno tidak bersikeras
membangun Stadion Utama Senayan, yang kemudian kita kenal dengan nama
Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK), mungkin sampai hari ini kita tak
punya stadion berstandar internasional. GBK dibangun dengan dana senilai
12,5 juta dolar AS dari Uni Soviet.
Proyek mercusuar itu menuai kritik tajam, karena kondisi
keuangan negara sedang sulit. Tapi Bung Karno, saat itu presiden
Republik Indonesia, bersikeras melanjutkan proyek itu.
Di era Orde Baru, di bawah kendali Presiden Soeharto, ada
beberapa proyek mercusuar yang menuai kritik. Ada proyek pembangunan
Taman Mini Indonesia Indah yang digagas Ibu Tien Soeharto, ibu negara
saat itu; proyek Waduk Kedung Ombo; sampai pembangunan Jalan Tol Dalam
Kota.
Proyek dirgantara pembangunan pesawat CN 235
yang digagas Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie dikecam para
ekonom, termasuk teknokrat di dalam kabinet Soeharto, karena dianggap
menghamburkan duit negara. Saat itu yang protes mengatakan, Indonesia
lebih butuh beras ketimbang “mainan” pesawat.
Jokowi juga harus berhadapan dengan kritik dari politisi
PDI-P, parpolnya sendiri, yang nampaknya dibiarkan oleh ketua umumnya.
Kebetulan ketua umum bermasalah dengan Menteri BUMN yang ditunjuk
mengawasi mega proyek ini. Kalau yang ditunjuk Jonan, mungkin situasinya
berbeda. Masalahnya Jonan sejak awal menolak proyek ini. Wajar kalau
Jokowi tidak memercayainya untuk menjalankannya.
Saya berharap Jokowi segera menjelaskan A sampai Z proyek
KA Cepat Jakarta-Bandung, termasuk berbagai pertanyaan yang beredar di
publik. Jokowi juga perlu memastikan tidak ada aparatnya, apalagi
anggota kabinet, yang mempersulit proyek ini. Ini kalau Jokowi yakin
bahwa proyek ini bermanfaat bagi rakyatnya dan tidak bakal menjadi
masalah di kemudian hari.
Kebanyakan “baper” alias bawa perasaan dalam proses kerja di kabinet ujungnya melahirkan kegaduhan demi kegaduhan. Celakanya, budaya mundur bagi menteri yang tidak sepakat dengan keputusan presiden tidak berlaku di Indonesia. —Rappler