Banyumas-Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015 telah dimulai bersamaan dengan tahun baru 2016. Bagi
Indonesia, pasar bersatu di kawasan Asia Tenggara ini bukan saja memiliki konsekuensi di bidang kesiapan ketenagakerjaan, tapi sektor
riil juga terkena imbas.
PHK diakibatkan tuntutan efisiensi dan bangkrut. Padahal,
pemerintah sudah memberlakukan kewajiban
pembayaran barang dalam mata uang rupiah di wilayah Indonesia.
Berkaitan dengan MEA, walaupun pemerintah sudah melakukan
sosialisasi secara terus menerus, dampaknya bagi tenaga kerja dan pengusaha
UMKM akan sangat memberatkan di semester pertama tahun 2016.
Pasalnya, kesiapan dan kepedulian para (calon) tenaga
kerja dan pengusaha tidak ada. Kompetisi yang sangat berat para pencari kerja
dan ancaman PHK tenaga kurang terampil akan muncul ketika para tenaga kerja
luar negeri masuk ke Indonesia secara bebas.
Degradasi pada (calon) pekerja lokal akan muncul
sehubungan dengan tingkat kompetisi dengan pekerja pendatang dari luar negeri.
Tak hanya pasar bersatu MEA, hubungan bilateral yang kian
mesra dengan Tiongkok membuat mereka mampu menguasai pasar domestik. Kita tidak
ingin sektor usaha khususnya kelas UMKM harus mati karena tidak mampu bersaing
dengan masuknya produk dari sembilan negara lainnya.
Perlu tingkatkan daya saing
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan produk
dalam negeri oleh pemerintah, namun hal terpenting yang sebaiknya dilakukan
adalah meningkatkan daya saing Indonesia.
Berdasarkan indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI),
Indonesia kembali naik ke peringkat 34 dari 144 negara, sebagaimana dilansir World
Economic Forum dalam Global Competitiveness Report
2014-2015.
Di level ASEAN, peringkat Indonesia ini masih kalah
dengan tiga negara tetangga, yaitu Singapura yang berada di peringkat 2,
Malaysia di peringkat 20, dan Thailand yang berada di peringkat ke-31.
Namun demikian, posisi Indonesia ini masih mengungguli
Filipina yang berada di peringkat 52, Vietnam di peringkat 68, Laos di
peringkat 93, Kamboja di peringkat 95, dan Myanmar di peringkat 134.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor kurang bagusnya daya
saing Indonesia. Menurut kajian Kementerian Perindustrian, faktornya mencakup
kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, serta produktivitas tenaga
kerja.
Belum ada titik terang solusi lemahnya pengawasan
produk-produk impor, penyelundupan, isu keamanan yang mengganggu investasi,
serta mahalnya tarif terminal
handling charge. Kita menunggu janji penurunan dwelling time,
apakah dilakukan secara konsisten.
Ada beberapa cabang industri yang perlu
ditingkatkan daya saingnya agar dapat mengamankan pasar dalam negeri, yaitu
cabang otomotif, elektronik, pakaian jadi, alas kaki, funitur, makanan dan
minuman. Dan satu hal yang berpeluang mempunyai daya saing yang tinggi adalah,
Indonesia sebagai salah satu penghasil kopi Arabika terbaik dunia.
Dan mungkin beberapa cabang industri lain Indonesia masih
lebih unggul dari negara tetangga, akan tetapi pada sektor industri jasa
Indonesia dianggap sama sekali tidak memiliki keunggulan.
Isu lain adalah upah minimum, kepastian hukum, biaya
transportasi barang yang masih terlau mahal, kualitas sumber daya manusia yang
tercermin pada indeks pembangunan manusia, sampai mutu pendidikan dan
kesehatan.
Yang paling krusial adalah membenahi infrastruktur serta
biaya logistik. Saat ini Indonesia biayanya mencapai 16 persen dari total biaya
produksi padahal normalnya hanya berkisar 9-10 persen. Kita berharap Indonesia
National Single Window berjalan
efektif untuk menurunkan biaya logistik.