Banyumas-Ketika KMP Tampomas II mengalami kebakaran dan tenggelam di sekitar Kepulauan Masalembo di Laut Jawa pada 27 Januari 1981, Indonesia menjadi perhatian dunia. Musibah ini menyebabkan tewasnya ratusan penumpang kapal tersebut. Diperkirakan 431 orang tewas: 143 mayat ditemukan, dan 288 orang hilang bersama kapal. Media banyak meliput kejadian itu, salah satu jurnalis yang mampu merangkum cerita dan data dari tragedi ini adalah Bondan Winarno, selain tentu saja Dahlan Iskan.
Kedua jurnalis ini melakukan investigasi mendalam dengan membaca dan mewawancarai banyak korban dengan bernas. Bedanya Bondan hanya berbekal data laporan, Dahlan turun langsung ke Sangihe dan mewawancarai korban. Keduanya melahirkan dua laporan jurnalistik berkualitas yang pernah dimiliki Indonesia.
Neraka 40 Jam di Tengah Laut hasil reportase Dahlan Iskan, dan Tragedi Tampomas Neraka di Laut Jawa susunan Bondan Winarno dari pembacaan laporan dan data lapangan setebal 1.141 lembar kertas. Isinya laporan wartawan dan koresponden, salinan dokumen, telex, negatif foto, bahkan sejumlah surat kaleng. Info ini saya dapat dari Yus Ariyanto, seorang penulis yang juga mentor menulis saya.
Dua laporan itu kemudian membentuk rupa kebijakan transportasi di Indonesia yang awalnya berantakan. Dari laporan Dahlan Iskan dan Bondan Winarno diketahui bahwa dalam kapal tersebut tidak memiliki kelengkapan keselamatan, kelebihan penumpang gelap dan awak yang tidak terlatih dalam usaha evakuasi.
Tapi bagaimana semestinya jurnalis meliput tragedi? Kim Tong-hyung, di Korean Times menulis, bahwa ada 7 hal yang mesti dipegang teguh oleh jurnalis ketika melakukan peliputan tragedi.
1. Jangan sampai reportase Anda mengganggu usaha penyelamatan
2. Jangan menuliskan/mengabarkan sesuatu yang dapat membuat ketakutan yang tidak perlu
3. Selalu melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap klaim yang ada agar tidak misinformasi
4. Jangan memaksa korban/keluarga korban untuk melakukan wawancara
5. Bagi jurnalis televisi, kurangi pengambilan gambar dari jarak dekat
6. Jangan menggunakan gambar atau video yang berisi gambar brutal atau provokatif
7. Menahan diri untuk tidak mengumbar data pribadi dari korban dan penyintas juga keluarga mereka
Korea Selatan adalah satu negara yang memiliki kebijakan ketat terhadap pemberitaan tragedi. Hal ini disebabkan karena protes publik terhadap pemberitaan media yang dianggap berlebihan dalam mengeksploitasi berita tragedi. Apalagi ketika tragedi tenggelamnya ferry Jindo, media-media Korea melakukan banyak blunder serius, salah satunya adalah mengatakan bahwa seluruh korban selamat, padahal yang terjadi sebaliknya.
Kasus AirAsia QZ 8501
Kode Etik AJI misalnya hanya mengatakan bahwa ketika melakukan reportase, jurnalis harus menggunakan cara yang etis dan profesional untuk memperoleh berita, gambar, dan dokumen. Hal serupa juga dituliskan oleh PWI dengan penjelasan khusus “menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara”. Namun ketika ini dilanggar tidak pernah ada sanksi dari Dewan Pers.
Ketika seorang reporter diturunkan ke lapangan, dalam hal ini peliputan bencana atau kecelakaan transportasi, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan riset dengan cepat dan efektif. Hal ini akan membantu dalam penyusunan pertanyaan yang diajukan kepada otoritas setempat. Dengan pengetahuan pengantar, seorang reporter akan dapat membuat fokus yang jelas tentang hal substansial yang mesti dikabarkan kepada publik. Sehingga reporter juga akan terhindar dari kewajiban klise bertanya tentang ‘perasaan keluarga korban’.
Jelas publik berhak marah ketika hilangnya AirAsia QZ 8501, lagi-lagi mereka mesti melihat jurnalis yang tidak cakap bekerja. Alih-alih mencari berita yang substantif dan penting, mereka sibuk mewawancarai keluarga penumpang seolah duka mereka adalah berita. Padahal jika mereka bersetia kepada lingkaran informasi dalam pemberitaan, keluarga korban bukanlah prioritas. Pihak otoritas penerbangan, maskapai penerbangan, dan pemerintah dalam hal ini dirjen perhubungan adalah narasumber utama.
Jika kemudian pesawat dinyatakan hilang dan dilakukan pencarian, maka pihak Basarnas adalah narasumber utama, dengan catatan jurnalis tidak boleh mengganggu proses pencarian atau evakuasi. Namun tanpa dibekali pemahaman yang cukup atau bahkan pengetahuan sederhana tentang etika jurnalistik susah bagi reporter pemula untuk bisa bekerja dengan baik. Seringkali seorang reporter terjebak dalam kondisi di mana mereka tidak bisa lagi mencari berita lain kecuali bertanya pada keluarga korban.
Kita memang tidak bisa selalu menyalahkan reporter ketika ia sibuk bertanya perasaan keluarga korban. Barangkali ia memang tidak pernah diajari bagaimana menjadi jurnalis yang benar oleh redaktur mereka. Pun, kita tidak bisa menyalahkan redaktur mereka karena tidak bisa bekerja dengan benar, karena mungkin ia ditekan untuk mencari berita yang dapat menaikan rating. Makin tinggi rating, makin banyak iklan datang, makin banyak iklan, makin banyak pemasikan. Relasi keji rating dan konstruksi berita pesanan ini memang keji.
Farid Gaban, jurnalis senior, menyebut bahwa hal ini terjadi karena rezim media yang memperlakukan reporter mereka sebagai robot. Nyaris minim sekali media yang memperlakukan reproternya sebagai manusia. Gaji yang kecil, kecakapan yang tidak memadai dan keterampilan jurnalistik yang nyaris seadanya. Pada satu titik jurnalis semestinya diperlakukan sebagai profesi profesional yang hanya bisa dikerjakan oleh seorang pakar.
Ada seorang jurnalis yang mengaku diminta redakturnya untuk membuat narasumber menangis agar dramatis. Ini keji sekali. Padahal jika mau berpikir lebih cerdas, beberapa redaktur dan reporter lapangan bisa bekerja pada substansi berita. Seperti melakukan verifikasi terhadap fakta-fakta keras seputar tragedi itu. Jika itu kecelakaan transportasi bisa dilakukan pelacakan mengenai kondisi cuaca, jenis serta usia kendaraan dan juga medan yang ditempuh oleh kendaraan.
Namun jika itu sudah dilakukan, seorang reporter dan jurnalis dapat bekerja dengan cerdas seperti melakukan riset terhadap membaca ulang catatan kecelakaan/bencana selama beberapa tahun terakhir. Ia akan memberikan konteks waktu, rekam jejak dan juga tekanan kepada pihak yang bertanggung jawab agar bekerja lebih maksimal. Posisi jurnalis saat tragedi terjadi selain penyampai kabar, semestinya pengingat agar tragedi serupa tidak terulang lagi.
Tapi apalah guna peringatan dan apalah guna akal sehat di republik ini? Negara yang membiarkan pernikahan dan persalinan artis medioker ditayangkan secara langsung menggunakan frekuensi publik. Dewan Pers tahu bahwa berkali-kali reporter televisi kita bekerja dengan standar kompetensi yang sangat rendah, alih-alih mengejar pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan fakta, mereka sibuk bertanya “Bagaimana perasaan keluarga dengan kejadian ini”.
Semoga kelak, ketika keluarga mereka hilang atau tertimpa musibah, para reporter atau redaktur tadi tak perlu ditanyakan perasaannya.(arman dhani/str)
Sumber:Arman Dhani, adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya,@Arman_Dhani.